Esai

Hierarchy of Human Needs: Abraham Maslow hingga Janda Tua pedagang kali lima

Selama menimba ilmu dari bangku sekolah hingga kuliah, saya sudah terbiasa menerima doktrin tentang bermacam pronsip ekonomi, salah satu yang paling simple adalah dengan modal sekecil-kecilnya para pelaku ekonomi dituntut untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Oke, saya terima prinsip itu hingga ada suatu moment dimana beberapa relasi saya melakukan aktifitas ekonomi bukan atas dasar keuntungan. How come? Kok bisa? Ini orang-orang nyleneh juga pikir saya. Ada beberapa entah mereka memang tidak tahu atau memang sengaja melanggar prinsip-prinsip ekonomi yang ada.

Bagai mana caranya saya menjelaskan perilaku beberapa orang yang saya kenal sangat dekat ketika mereka membeli barang yang bahkan tidak mereka butuhkan? Jawabannya simple, ga perlu pake teori-teori yang pernah saya kenal, mereka membeli atas rasa iba dan mutlak ingin menolong. Jawaban mereka jelas beralasan, si pedagang kaki lima yang kebetulan rumahnya hanya beberapa meter dari kediaman saya adalah janda tua yang hidup sediri, sebatang kara, janda yang ditinggal mati suaminya tanpa seorang anak pun. Di sisi lain ada juga tukang becak yang mengantar si nenek ini setiap harinya ke pasar dengan imbalan seikhlasnya, bahkan tidak dibayarpun dia tidak akan merasa keberatan. “kalau bukan kita siapa lagi yang mau beli?”. Rangkaian kalimat sederhana yang mengandung kemesraan dan kepedulian antar sesama. Di usianya yg senja Beliau, janda tua ini, masih semangat berjuang mengais rizki Tuhan, tanpa meminta-minta, tanpa mengeluh. Sebuah konsistensi ikhtiar atau perjuangan yang saya acungi jempol.

Jauh dalam hati saya membatin, lantas di mana letak prinsip ekonomi yang pernah saya pelajari dalam fenomena yang saya temui ini? ah, mungkin saya masih terlalu awam untuk mengkaji fenomena ini. Mungkin orang-orang yang berkecimpung dalam disiplin ilmu ekonomi bisa memberi penjelasan yang lebih memuaskan dibanding elaborasi saya yang terkesan hanya sebuah gumaman hati ini.

Gumaman hati saya berlanjut. Ini baru di level orang-orang bawah fenomena luar biasa seperti itu bisa terjadi. Nah kalau boleh berandai-andai, dengan mengabaikan prestasi maupun pangkat-pangkat akademik yang ada, jika mereka menjadi pemimpin bagi negeri ini, mungkin tidak ada lagi kemiskinan di negeri ini, tidak ada janda tua yang mengantri panjang untuk mendapat jatah raskin maupun sembako murah di negeri ini. atau lebih simplenya, jika para pemimpin bangsa bisa meminjam karakter mental orang-orang seperti yang saya ceritakan tadi, mungkin rakyat negeri ini akan hidup lebih layak, secara keseluruhan, mungkin.

Menurut sampeyan?

Hierarchy of Human Needs

Salah satu bagian ilmu ekonomi yang pernah (sedikit) saya pelajari adalah teori tentang kecenderungan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dikenal dengan Hierarchy of Human Needs.  Abraham Maslow, sang pencetus teori ini, menggambarkan teori ini pada sebuah piramida, dimulai dari kebutuhan dasar manusia hingga kebutuhan yang paling tinggi di puncak piramid dengan urutan kebutuhan Phisiological (fisiologis), safety (rasa aman), love/belonging (kebutuhan untuk dicintai dan disayangi), esteem (kebutuhan untuk dihargai), self actualisation (aktualisasi diri) dan transcendence (untuk yg terakhir ini Maslow menambahkannya di puncak piramidanya sebelum dia meninggal). Penjelasan simplenya orang cenderung berusaha memenuhi kebutuhan dasar (yaitu phosiological needs) yang berupa kebutuhan sandang sebelum memenuhi level kebutuhan selanjutnya yaitu safety, love/belonging, dst.

Itu penjelasan secara teoritisnya yang saya dapat di bangku kuliah. Well, secara menyeluruh dari pengalaman saya selama 23 tahun hidup di bumi ini memang benar. Nah ada beberapa hal yang membuat saya bingung, atau mungkin dengan bahasa lain saya tidak bisa menjelaskan korelasi antara teori Maslow di atas dengan fenomena yang kerap saya temui dalam hidup saya. Mengapa ada beberapa orang yang bisa dikatakan kurang mampu dalam hal kepemilikan materi bisa bahagia dibanding dengan orang yang melimpah secara materi? Padahal kalau dikaji secara teoritis, mereka (orang-orang yang kurang mampu) harusnya masih berkutat di tingkat kebutuhan fisiologis, bahkan beberapa orang yang berlimpah harta inilah seharusnya yang sudah mencicipi level love/belonging, esteem, dst. Orang-orang yang kaya inilah seharusnya yang jauh lebih bahagia. Fenomena ini yang menjadi pertanyaan dalam otak saya dan sejauh ini saya belum bisa mencari korelasi antara fenomena ini dengan teori di atas. Ah mungkin ini hanya ketidakmengertian diri saya sendiri atas fenomena yang terjadi, mungkin setiap orang mempunyai jawaban sendiri atas fenomena ini.

Aang Kunaefi

Probolinggo

11-09-2012

Standar

7 respons untuk ‘Hierarchy of Human Needs: Abraham Maslow hingga Janda Tua pedagang kali lima

  1. Anonim berkata:

    jawabannya simple mas … Bersyukur atau Tamak, orang yang tamak gak akan ada puasnya, meskipun udah serba berkecukupan ada saja yang dicarinya

    • aangbikinblog berkata:

      Mas/mbak anonymous, beber banged,,, Kl masalah ekonomi banyak orang bisa merumuskan. Nah kl masalah hati ini yang susah dirumuskan 🙂

  2. kaendra berkata:

    kesimpulan saya gan, banyak teori yang diajarkan di sekolah sudah tidak relevan lagi dengan dinamika hidup yang tiap detiknya berubah arah.

  3. sebagai manusia yang memiliki rasa persaudaraan, sebaiknya kita menolong yang lemah jika kita mampu, makanya saya jarang kepasar atau tempt belanja lainnya jika tak terlalu penting, karena rasa iba yang cukup tinggi, kadan ingin membeli semua tapi keuangan tak mencukupi….l hehehe 🙂

Tinggalkan Balasan ke kaendra Batalkan balasan